Menguak Vulkanologi Kompleks Gunung Dieng Serta Jejak aktivitas Erupsi Dan Mitigasi Bencananya

Lingkar Diskusi Geosfer
7 min readSep 16, 2020

--

Catatan diskusi keenam Lingkar Diskusi Geosfer bertajuk “Kompleks Gunung Api Dieng: Karakteristik dan Mitigasi Bencana” yang digelar 31 Agustus 2020
Oleh
Lingkar Diskusi Geosfer

Gunung berapi dapat diibaratkan sebagai sebuah sistem saluran fluida yang terdiri atas batuan cair bersuhu tinggi yang memiliki struktur memanjang dari kedalaman lapisan litosfer kurang lebih 10 km hingga permukaan bumi. Gunung berapi juga memiliki kumpulan endapan material yang keluar saat terjadinya letusan. Material tersebut melipuri abu dan batuan dengan berbagai ukuran (Sari; 2015). Gunung berapi terbentuk sejak jutaan tahun yang lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunung berapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat dengan gunung berapi. Hal tersebut diketahui dari penemuan fosil manusia di dalam endapan vulkanik.[1]

Selama proses pembentukannya, gunung berapi memiliki kondisi atau keadaan yang terus menerus berubah dari waktu ke waktu, terkadang ia mengalami kondisi tidur yang ditandai tiadanya aktivitas vulkanik sama sekali selama puluhan bahkan ratusan tahun. Namun di suatu kondisi gunung akan kembali aktif dan menunjukkan tanda — tanda vulkanisme. Hampir semua aktivitas letusan gunung berapi selalu berkaitan dengan zona kegempaan aktif, hal ini terjadi akibat hubungan antar batas lempeng yang menimbulkan tekanan yang sangat tinggi dan memiliki suhu lebih dari 1000℃ sehingga dapat melelehkan material bebatuan di sekitarnya dan menjadi magma.[2]

Letak Terbentuknya Gunung Berapi

Gunung berapi dapat terbentuk pada empat busur, meliputi Busur Tengah Benua : terbentuk akibat pemekaran kerak benua, Busur tepi benua : terbentuk akibat penunjaman kerak samudera ke kerak benua,Busur tengah samudera : terjadi akibat pemekaran kerak samudera,Busur dasar samudera : yang terjadi akibat terobosan magma basa pada penipisan kerak samudera.

Penampang yang memperlihatkan batas lempeng utama dengan pembentukan busur gunung berapi (modifikasi dari krafft, 1989)

Penyebab Gunung berapi Meletus

1.) Peningkatan kegempaan vulkanik

Aktivitas gunung berapi, seperti frekuensi gempa bumi meningkat yang mana dalam sehari bisa terjadi puluhan kali gempa tremor yang tercatat melalui alat seismograf. Selain itu terjadi peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya hal ini disebabkan oleh pergerakan magma, hidrotermal yang berlangsung di dalam perut bumi. Jika tanda tanda seperti diatas muncul dan terus berlangsung dalam beberapa waktu yang telah ditentukan maka status gunung berapi dapat ditingkatkan menjadi level waspada. Pada level ini harus dilakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar, melakukan penilaian bahaya dan potensi untuk naik ke level selanjutnya dan kembali mengecek sarana serta pelaksanaan shift pemantauan yang harus terus dilakukan.[3]

2.) Suhu kawah meningkat secara signifikan

Sebagai tanda bahwa magma telah naik dan mencapai lapisan kawah paling bawah sehingga secara langsung akan mempengaruhi suhu kawah secara keseluruhan. Pada gunung dengan status normal, volume magma tidak terlalu banyak terkumpul di daerah kawah sehingga menyebabkan suhu di sekitar normal. Naiknnya magma tersebut bisa disebabkan oleh pergerakan tektonik pada lapisan bumi dibawah gunung seperti gerakan lempeng sehingga meningkatkan tekanan pada dapur magma dan pada akhirnya membuat magma terdorong ke atas hingga berada tepat di bawah kawah. Pada kondisi seperti ini, banyak hewan hewan di sekitar gunung bermigrasi dan terlihat gelisah. Selain itu meningkatnya suhu kawah juga membuat air tanah di sekitar gunung menjadi kering.

3.) Terjadinya deformasi badan gunung

Hal ini disebabkan oleh peningkatan gelombang magnet dan listrik sehingga dapat menyebabkan perubahan struktur lapisan batuan gunung yang dapat mempengaruhi bagian dalam seperti dapur magma yang volume nya mengecil atau bisa juga saluran yang menghubungkan kawah dengan dapur magma menjadi tersumbat akibat deformasi batuan penyusun gunung.

4.) Lempeng lempeng bumi yang saling berdesakan

Hal ini menyebabkan tekanan besar menekan dan mendorong permukaan bumi sehingga menimbulkan berbagai gejala tektonik, vulkanik dan meningkatkan aktivitas geologi gunung tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lempeng merupakan bagian dari kerak bumi yang terus menerus bergerak setiap saat dan daerah gunung api merupakan zona dimana kedua lempeng saling bertemu, desakan lempeng bisa juga menjadi penyebab perubahan struktur dalam gunung berapi.

5.) Akibat tekanan yang sangat tinggi

Beberapa penyebab seperti yang telah dijelakan pada point sebelumnya mendorong cairan magma untuk berbergerak keatas menuju ke saluran kawah dan keluar. Jika sepanjang peralanan magma menyusuri saluran kawah terdapat sumbatan , biisa menimbulkan ledakan yang dikenal dengan letusan gunung berapi. Semakin besar tekanan dan volume magma nya maka semakin kuat ledakan yang akan terjadi.[4]

Karakteristik Kompleks Gunung Api Dieng

Kompleks Gunung Api Dieng atau yang lebih dikenal dengan nama Dataran Tinggi Dieng berlokasi di dua kabupaten yaitu Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Dataran Tinggi Dieng terkenal karena keelokan alam serta beragam potensi wilayahnya.

Kompleks Gunung Api Dieng (sumber : seva.id)

Dibalik pesona alamnya, Kompleks Gunung Api Dieng memiliki sejarah kebencanaan yang patut dipelajari mengingat sampai saat ini Gunung Api Dieng merupakan kawasan yang masih aktif karena letaknya berada di wilayah subduksi lempeng Eurasia dan Indo-Australia dan termasuk dalam jajaran Ring of Fire atau sabuk gunung api. Sehingga, kejadian bencana pada tahun 1979 di Kawah Sinila yang memakan korban hingga 149 jiwa serta tidak terulang kembali.

Kompleks Gunung Api Dieng memiliki bentuk yang unik karena tidak menyerupai bentuk gunung api di dekatnya seperti Sumbing, Sindoro, maupun Merapi yang berbentuk strato, namun wilayah ini berbentuk cenderung datar pada puncaknya. Dengan kata lain, Kompleks Gunung Api Dieng ini mempunyai bentuk kerucut yang tidak sempurna. Hal ini dapat terbentuk karena proses vulkanisme masa lampau. Pengidentifikasian karakteristik morfologi Gunung Api Dieng dengan menggunakan pendekatan geomorfologi dapat membantu kita untuk mengetahui proses-proses vulkanisme yang membentuk wajah Dieng saat ini.

Di sisi utara terdapat jajaran pegunungan yang membentuk setengah lingkaran yang biasanya mengindikasikan bentukan kaldera (crater). Pada peta geologi,, dapat diidentifikasi bahwa formasi geologi pegunungan tersebut adalah Formasi Jembangan (Qj) dimana Formasi Jembangan merupakan hasil kegiatan kegunungapian dari Gunung Jembangan (disebut juga Gunung Ragajembangan) dengan ketebalan mencapai 200 m (van Bemmelen, 1937). Jenis batuannya terdiri atas breksi andesit augit — hipersten, olivin basal, dan andesit hornblende (Marks, 1957). Umur Formasi Jembangan diperkirakan Plistosen (Condon drr., 1975).

Sedangkan gunung-gunung yang muncul di tengah kawah merupakan Batuan Gunung api Dieng atau disebut juga Formasi Dieng (Qd), berumur Pleistosen dan diendapkan di atas Batuan Gunung api Jembangan, yang memberikan informasi bahwa Formasi Jembangan berumur lebih tua dari Formasi Dieng. Formasi ini terdiri dari satuan batuan lava andesit dan andesit-kuarsa serta batuan klastika gunung api, yang kemudian diatasnya diendapkan endapan aluvial.

Para ilmuwan menyatakan ada tiga fase dalam pembentukan Gunung Api Dieng. Fase pertama, merupakan fase pra kaldera yaitu pembentukan gunung-gunung yang berasal dari satu sumber magma. Fase kedua, merupakan fase letusan gunung-gunung yang terbentuk pada masa pra kaldera. Letusan ini membentuk suatu kawah (crater) besar yang sekarang kita kenal dengan Dataran Tinggi Dieng. Fase ketiga merupakan fase yang membentuk beberapa bentukan alam dieng saat ini seperti gunung-gunung api kecil di tengah kawah seperti Gunung Bisma dan Gunung Pakuwaja. Hal ini disebabkan oleh aktivitas vulkanik dari sisa pasokan magma setelah letusan yang berada di kantong-kantong kecil sumber magma.

Aktivitas vulkanik Kompleks Gunung Api Dieng saat ini didominasi oleh erupsi freatik dan hidrotermal. Aktifitas hidrotermal dipicu oleh sumber panas dari batuan intrusi atau magma yang menciptakan sirkulasi panas dengan air dan menghasilkan uap. Uap-uap tersebut bergerak keluar melalui rekahan atau celah yang ada pada tanah. Manifestasi hidrotermal pada Kawasan ini dapat ditemukannya sejumlah mata air panas, fumarole, solfatara, tanah beruap panas, dan alterasi hidrotermal. Pasokan uap ini jumlahnya besar dan dapat berpotensi sebagai pembangkit listrik tenaga uap.

Bentuk Ancaman dan Upaya Mitigasi Bencana

Menilik sejarah kebencanaan Kawasan Gunung Api Dieng, sumber didominasi oleh semburan lumpur panas dan gas yang acapkali berbahaya bagi pernafasan manusia. Selain itu, alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian turut menambah potensi kebencanaan di Kawasan Gunung Api Dieng.

a. Bencana Vulkanologis
Dibentuk oleh aktivitas vulkanisme selama ribuan tahun, tanda — tanda aktivitas post vulkaniknya masih tampak begitu jelas hingga hari ini. Keberadaan belasan kawah disekitarnya bak bom waktu yang siap membahayakan siapapun, ancaman letusan baik berupa lumpur atau gas fluida mengintai penduduk sekitar dan wisatawan yang berkunjung.

Semburan gas dari Kawah Sinila pada tahun 1979 yang diam — diam membunuh 149 penduduk disekitarnya menjadi catatan serius bagaimana konsep tata ruang harus terintegrasi dengan peta rawan bencana. Pengawasan dan control tata ruang harus dilaksanakan secara betul, seiring dengan meningkatnya intensitas wisatawan yang berkunjung. Keamanan lokasi wisata harus ditingkatkan.

b. Bencana Hidrometeorologis
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian terjadi secara besar — besaran di Gunung Api Dieng. Kesuburan tanah vulkanik dan kelembapan yang cocok untuk budidaya tanaman kentang menjadi faktor pemicunya, belum lagi meningkatnya arus wisatawan yang berkunjung turut menambah penyebab alih fungsi lahan.

Disaat bersamaan, hilangnya hutan sebagai penyerap air hujan dan tanaman kentang yang tak mapu menahan air mendorong run-off dalam jumlah besar. Akibatnya beberapa wilayah mengalami erosi cukup tinggi, jika dalam kondisi kritis, bencana longsor diiringi banjir bandang siap melibas siapapun dibawahnya. Dieng sebagai hulu Sungai Serayu mengalami ancaman alih fungsi lahan cukup tinggi setiap tahunnya. Penghijauan serta penerapan metode terasering dengan pohon guna penahan air dapat menjadi solusi untuk menjaga Kawasan Dieng sebagai hulu Sungai Serayu dan sebagai upaya preventif mencegah bencana longsor dan banjir dikawasan Dieng.

c. Bahaya Tanah Longsor
Kawasan Dieng juga menyimpan ancaman berupa bencana tanah longsor. Dataran tinggi Dieng memiliki lereng bervariasi dari berombak (3–8%) sampai berlereng (> 30%) menyimpan bahaya tanah longsor yang cukup tinggi ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat yang menanam kentang menambah resiko terjadinya tanah longsor (Indrayani, 2013)[5]. Menurut narasumber diskusi yang lalu yakni Elok Surya Pratiwi, tipe tanah longsor didominasi oleh tipe amblesan dimana jenis tanah lempunglah yang mendominasi di wilayah tersebut. Upaya konservasi perlu dilaksanakan dan terus diawasi untuk meminimalisir ancaman tanah longsor. Pertanian kentang juga perlu diperhatikan oleh pihak terkait, masyarakat kawasan Dieng perlu dilaksanakan sosialisasi mengenai pentingnya rotasi tanaman untuk mengurangi ancaman tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah.

REFERENSI

[1]Anonim__ bencana gunung berapi. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12406/BAB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y

[2] Kementrian Esdm__ Mengenal Gunung Berapi. http://esdm.jatengprov.go.id/download/Gunung-Berapi.pdf

[3] Anonim__ bencana gunung berapi. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12406/BAB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y

[4] Ilmu geografi___ penyebab gunung meletus dan akibatnya. https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/gunung/penyebab-gunung-meletus

[5] Indrayani, Ariyani. 2013. Peningkatan Ketahanan Terhadap Risiko Bencana Melaluipendidikan Konservasi Lahan Berbasis Masyarakatdi Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Geografi 10(2) 154–166.

“Lingkar Diskusi Geosfer adalah wadah berkumpul mahasiswa geografi Universitas Negeri Semarang untuk berbagi perspektif juga diskusi dalam isu-isu geosfer dan sebagai media penulisan bebas terkait isu geosfer”

--

--

Lingkar Diskusi Geosfer

Wadah kolektif bincang ruang dan media menulis bebas terkait isu — isu geosfer.